PENGANTAR EKONOMI MAKRO
KRISIS EKONOMI
Krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi
karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja
yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena
terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai
musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti
kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan
terparah selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran
di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan
Mei 1998 lalu dan kelanjutannya.
Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental
ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh
Bank Dunia. Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif
rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit
neraca berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan
devisa masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan
sedikit surplus. Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural
seperti peraturan perdagangan domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli
impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat
yang bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidak
pastian sehingga masuk dana luar negeri dalam jumlah besar melalui sistim
perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana dari luar negeri yang
sebagian besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi
juga krisis kepercayaan. Namun semua kelemahan ini masih mampu ditampung oleh
perekonomian nasional. Yang terjadi adalah, mendadak datang badai yang sangat
besar, yang tidak mampu dbendung oleh tembok penahan yang ada, yang selama
bertahun-tahun telah mampu menahan berbagai terpaan gelombang yang datang
mengancam.
Sebagai konsekuensi dari krisis moneter ini, Bank
Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah
terhadap valuta asing, khususnya dollar AS, dan membiarkannya berfluktuasi
secara bebas (free floating) menggantikan sistim managed floating
yang dianut pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan demikian Bank
Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menopang
nilai tukar rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar semata.
Nilai tukar rupiah kemudian merosot dengan cepat dan tajam dari rata-rata Rp
2.450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir Januari 1998, namun kemudian
berhasil menguat kembali menjadi sekitar Rp 8.000 awal Mei 1999.
PENYEBAB
KRISIS
Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental
ekonomi Indonesia yang selama ini lemah, tetapi terutama karena utang swasta
luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor
rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar
AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya.
Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang
sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi
terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri
dalam jumlah besar.
Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang
bersamasama membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan. Yang pertama adalah
akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli 1997,
sehingga 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor swasta
ini, dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat tahun
terakhir utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun. Sebab yang kedua
adalah kelemahan pada sistim perbankan. Ketiga adalah masalah governance,
termasuk kemampuan pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian
menjelma menjadi krisis kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan
bantuan finansial dengan cepat. Yang keempat adalah ketidak pastian politik
menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden Soeharto
pada waktu itu.
Penyebab utama dari terjadinya krisis yang
berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang
sangat tajam, meskipun ini bukan faktor satu-satunya, tetapi ada banyak faktor
lainnya yang berbeda menurut sisi pandang masing-masing pengamat. Berikut ini diberikan
rangkuman dari berbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya:
1. Dianutnya
sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai,
memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas
berapapun jumlahnya.
2. Tingkat
depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8%
(1991) antara tahun 1988 hingga 1996, yang berada di bawah nilai tukar
nyatanya, menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued.
Ditambah dengan kenaikan pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya
relatif lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk
dalam negeri yang makin lama makin kalah bersaing dengan produk impor. Nilai
Rupiah yang overvalued berarti juga proteksi industri yang negatif.
Akibatnya harga barang impor menjadi relatif murah dan produk dalam negeri
relatif mahal, sehingga masyarakat memilih barang impor yang kualitasnya lebih
baik.
3. Akar
dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah
sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup
devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya, ditambah sistim
perbankan nasional yang lemah. Ada tiga pihak yang bersalah di sini, yaitu pemerintah,
kreditur dan debitur. Kesalahan pemerintah adalah, karena telah memberi signal
yang salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah terus-menerus overvalued
dan suku bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman dalam rupiah menjadi
relatif mahal dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif murah. Sebaliknya,
tingkat bunga di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian dana ke
luar negeri dan agar masyarakat mau mendepositokan dananya dalam rupiah. Bagi
debitur dalam negeri, terjadinya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar
ini, di samping lebih menguntungkan, juga disebabkan suatu gejala yang dalam
teori ekonomi dikenal sebagai fallacy of thinking, di mana pengusaha beramai-ramai
melakukan investasi di bidang yang sama meskipun bidangnya sudah jenuh, karena
masing-masing pengusaha hanya melihat dirinya sendiri saja dan tidak memperhitungkan
gerakan pengusaha lainnya. Pihak kreditur luar negeri juga ikut bersalah,
karena kurang hati-hati dalam memberi pinjaman dan salah mengantisipasi keadaan.
Jadi sudah sewajarnya, jika kreditur luar negeri juga ikut menanggung sebagian
dari kerugian yang diderita oleh debitur.
4. Permainan
yang dilakukan oleh spekulan asing yang dikenal sebagai hedge funds tidak
mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia
pada saat itu, karena praktek margin trading, yang memungkinkan dengan
modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar.
5. Kebijakan
fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita
batas intervensi. Sistim ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar
rupiah dan mengundang tindakan spekulasi ketika sistim batas intervensi ini
dihapus pada tanggal 14 Agustus 1997.
6. Defisit
neraca berjalan yang semakin membesar,
yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih
besar dari ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah
nilai tukar rupiah yang sangat overvalued, yang membuat harga
barang-barang impor menjadi relatif murah dibandingkan dengan produk dalam
negeri.
7. Penanam
modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran di iming-imingi
keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif
stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar. Selisih tingkat
suku bunga dalam negeri dengan luar negeri yang besar dan kemungkinan
memperoleh keuntungan yang relatif besar dengan cara bermain di bursa efek,
ditopang oleh tingkat devaluasi yang relatif stabil sekitar 4% per tahun sejak
1986 menyebabkan banyak modal luar negeri yang mengalir masuk. Setelah nilai
tukar Rupiah tambah melemah dan terjadi krisis kepercayaan, dana modal asing
terus mengalir ke luar negeri meskipun dicoba ditahan dengan tingkat bunga yang
tinggi atas surat-surat berharga Indonesia. Kesalahan juga terletak pada
investor luar negeri yang kurang waspada dan meremehkan resiko. Krisis ini adalah krisis kepercayaan terhadap
rupiah.
8. IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus
menunda pengucuran dana bantuan yang dijanjikannya dengan alasan pemerintah
tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan dengan baik. Negara-negara sahabat yang
menjanjikan akan membantu Indonesia juga menunda mengucurkan bantuannya
menunggu signal dari IMF, padahal keadaan perekonomian Indonesia makin lama
makin tambah terpuruk.
9. Spekulan
domestik ikut bermain. Para spekulan ini pun tidak semata-mata menggunakan
dananya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari sistim perbankan untuk bermain.
10. Terjadi
krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli
dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik keuntungan
dari merosotnya nilai tukar rupiah. Terjadilah snowball effect, di mana
serbuan terhadap dollar AS makin lama makin besar.
11. Terdapatnya
keterkaitan yang erat dengan yen Jepang, yang nilainya melemah terhadap dollar
AS. Setelah Plaza-Accord tahun 1985, kurs dollar AS dan juga mata uang
negara-negara Asia Timur melemah terhadap yen Jepang, karena mata uang
Negara-negara Asia ini dipatok dengan dollar AS. Daya saing negara-negara Asia
Timur meningkat terhadap Jepang, sehingga banyak perusahaan Jepang melakukan
relokasi dan investasi dalam jumlah besar di negara-negara ini. Tahun 1995 kurs
dollar AS berbalik menguat terhadap yen Jepang, sementara nilai utang dari
negara-negara ini dalam dollar AS meningkat karena meminjam dalam yen, sehingga
menimbulkan krisis keuangan.
Timbulnya krisis berkaitan dengan jatuhnya nilai
tukar rupiah terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luar negeri,
dan kurang dipengaruhi oleh sektor riil dalam negeri, meskipun kelemahan sector
riil dalam negeri mempunyai pengaruh terhadap melemahnya nilai tukar rupiah.
DAMPAK
DARI KRISIS
Semua permasalahan dalam krisis ekonomi
berputar-putar sekitar kurs nilai tukar valas, khususnya dollar AS, yang melambung
tinggi jika dihadapkan dengan pendapatan masyarakat dalam rupiah yang tetap,
bahkan dalam beberapa hal turun ditambah PHK, padahal harga dari banyak barang
naik cukup tinggi, kecuali sebagian sektor pertanian dan ekspor. Imbas dari
kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam secara umum sudah kita ketahui:
kesulitan menutup APBN, harga telur/ayam naik, utang luar negeri dalam rupiah
melonjak, harga BBM/tarif listrik naik, tarif angkutan naik, perusahaan tutup
atau mengurangi produksinya karena tidak bisa menjual barangnya dan beban utang
yang tinggi, toko sepi, PHK di mana-mana, investasi menurun karena impor barang
modal menjadi mahal, biaya sekolah di luar negeri melonjak. Dampak lain adalah
laju inflasi yang tinggi, yang bukan disebabkan karena imported inflation,
tetapi lebih tepat jika dikatakan foreign exchange induced inflation.
Masalah ini hanya bisa dipecahkan secara mendasar bila nilai tukar valas bisa
diturunkan hingga tingkat yang wajar atau nyata (riil). Dengan demikian roda
perekonomian bisa berputar kembali dan harga-harga bisa turun dari tingkat yang
tinggi dan terjangkau oleh masyarakat, meskipun tidak kembali pada tingkat
sebelum terjadinya krisis moneter.
Pada sisi lain merosotnya nilai tukar rupiah secara
tajam juga membawa hikmah. Secara umum impor barang menurun tajam termasuk
impor buah, perjalanan ke luar negeri dan pengiriman anak sekolah ke luar
negeri, kebalikannya arus masuk turis asing akan lebih besar, daya saing produk
dalam negeri dengan tingkat kandungan impor rendah meningkat sehingga bisa
menahan impor dan merangsang ekspor khususnya yang berbasis pertanian, proteksi
industri dalam negeri meningkat sejalan dengan merosotnya nilai tukar rupiah,
pengusaha domestik kapok meminjam dana dari luar negeri. Hasilnya adalah perbaikan
dalam neraca berjalan. Petani yang berbasis ekspor penghasilannya dalam rupiah
mendadak melonjak drastis, sementara bagi konsumen dalam negeri harga beras,
gula, kopi dan sebagainya ikut naik. Sayangnya ekspor yang secara teoretis
seharusnya naik, tidak terjadi, bahkan cenderung sedikit menurun pada sektor
barang hasil industri. Meskipun penerimaan rupiah petani komoditi ekspor
meningkat tajam, tetapi penerimaan ekspor dalam valas umumnya tidak berubah,
karena pembeli di luar negeri juga menekan harganya karena tahu petani dapat
untung besar, dan negara-negara produsen lain juga mengalami depresiasi dalam
nilai tukar mata uangnya dan bisa menurunkan harga jual dalam nominasi valas.
Hal yang serupa juga terjadi untuk ekspor barang manufaktur, hanya di sini ada
kesulitan lain untuk meningkatkan ekspor, karena ada masalah dengan pembukaan
L/C dan keadaan sosial-politik yang belum menentu sehingga pembeli di luar
negeri mengalihkan pesanan barangnya ke negara lain.
Sebagai dampak dari krisis ekonomi yang berkepanjangan
ini, pada Oktober 1998 jumlah keluarga miskin diperkirakan meningkat menjadi
7,5 juta, sehingga perlu dilancarkan program-program untuk menunjang mereka
yang dikenal sebagai social safety net. Meningkatnya jumlah penduduk
miskin tidak terlepas dari jatuhnya nilai tukar rupiah yang tajam, yang
menyebabkan terjadinya kesenjangan antara penghasilan yang berkurang karena PHK
atau naik sedikit dengan pengeluaran yang meningkat tajam karena tingkat
inflasi yang tinggi, sehingga bila nilai tukar rupiah bisa dikembalikan ke
nilai nyatanya maka biaya besar yang dibutuhkan untuk social safety net ini
bisa dikurangi secara drastis.
ANALISIS
Berikut
ini dampak krisis ekonomi terhadap beberapa indikator, antara lain:
1.
Pertumbuhan ekonomi
Seperti
kita ketahui, ekonomi dikatakan tumbuh bila titik keseimbangan antara
permintaan agregat dan penawaran agregatnya makin baik dibanding periode
sebelumnya. Namun, pada masa krisis perusahaan banyak yang tutup atau
mengurangi angka produksinya, jadi pada saat itu penawaran agregat justru
berkurang. Permintaan agregat pun berkurang karena naiknya harga kebutuhan
masyarakat yang tidak sesuai dengan penghasilan mereka yang tidak mencukupi
untuk membeli kebutuhan tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa pada masa krisis
ekonomi, ekonomi di Indonesia tidak mengalami pertumbuhan, bahkan cenderung
memburuk.
2.
Inflasi
Inflasi
adalah kenaikan harga yang teru-menerus dan bersifat umum. Laju inflasi pada
krisis ekonomi sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari tingginya harga-harga
kebutuhan masyarakat seperti harga sembako, tarif listrik , juga tarif angkutan
karena harga BBM yang juga naik. Hal ini menyebabkan angka kemiskinan meningkat
karena penghasilan masyarakat yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.
3.
Pengangguran
Penganggur
adalah angkatan kerja yang tidak mendapat pekerjaan. Pada saat krisis ekonomi,
jumlah pengangguran meningkat karena banyaknya PHK yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan. Tingginya tingkat pengangguran berarti bahwa alokasi
sumber daya manusia masih belum adil dan/atau efisien karena masih banyaknya
SDM yang belum terpakai. Hal ini juga menimbulkan dampak lain, yaitu
meningkatnya jumlah penduduk miskin karena berkurangnya penghasilan mereka,
akibat dari PHK.
4.
Suku bunga
Dampak
dari krisis ekonomi yang lain yaitu tingginya tingkat suku bunga. Hal itu
menyebabkan menurunnya investasi. Suku bunga menentukan jenis-jenis investasi
yang akan member keuntungan kepada para pengusaha dan dapat dilaksanakan.pengusaha
hanya akan menanamkan modalnya apabila tingkat pengembalian modal dari
investasi yang dilakukan (persentase keuntungan yang akan diperoleh sebelum
dikurangi bunga uang yang dibayar) lebih besar dari bunga.
5.
Harga dollar AS
Pada
masa krisis ekonomi harga dollar AS melambung tinggi jika dihadapkan dengan pendapatan
masyarakat dalam rupiah yang tetap. Nilai tukar rupiah pada masa ini jatuh
secara tajam terhadap dollar AS.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut